* HSF FANFICTION

[ONESHOOT] A Wish

a-wish-for-olvmn-by-springsabila

A Wish by Olivemoon || Main Cast(s):  Park Jiyeon & Kim Myungsoo|| Minor Cast(s):Nam Woohyun|| Genre(s): just decided by yourself|| Length: Oneshot || Rating: M (for cursing) || Awesome poster by Springsabila @Poster Channel

Note: ff ini pernah di publish di LJr dengan cast berbeda.

Happy reading!

.

.

.

“Hey, apa kau masih hidup?”

Hanya suara guyuran hujan yang berlomba-lomba jatuh di atas payungnya yang bisa ia dengar. Dengan acuh tak acuh, Myungsoo─nama laki-laki itu─mengguncang tubuh yang tak sadarkan diri di lorong dekat tangga yang licin, dengan kakinya.

Tubuh itu tersentak oleh rangsangan yang Myungsoo berikan. Dengan erangan yang menyusul setelahnya, Myungsoo melihat kedua mata itu terbuka perlahan sebelum terfokus padanya.

“Ah …” Wanita itu mengerang kembali sembari memegang kepalanya.

Myungsoo memutuskan untuk melihat wajah gadis itu untuk yang terakhir kalinya sebelum  membalikan badan, meninggalkan wanita itu sendiri dibawah guyuran hujan dan dinginnya pagi buta.

“Ehm, tuan. Tunggu─ argh!”

Karena penasaran, Myungsoo menoleh dan melihat wanita itu memegang kaki kirinya. Myungsoo hanya bisa menghela nafas dan kembali untuk memeriksa kaki gadis itu.

“Kau melukai kakimu,” Myungsoo berkata pelan.

Uhm, apa kau tahu tempat apa ini? Maksudku, dimana ini?” Wanita yang tengah cidera itu bertanya. Myungsoo yang mendengar hal itu hanya memandangnya heran tanpa langsung menjawab.

“Namamu,” Entah itu pertanyaan atau pernyataan, Myungsoo hanya mencoba menganalisis situasi.

“Ah, aku … aku … tak ingat namaku.” Mata gadis itu berkaca-kaca, seolah air asin yang telah terkumpul di kelopak matanya siap keluar kapan saja.

.

.

.

Myungsoo memperhatikan wanita yang sedang melihat-lihat apartmennya dengan pandangan kagum. Dia meninggalkan wanita itu untuk pergi membersihkan tubuhnya, dan saat ia kembali (telah siap untuk pergi bekerja) wanita itu masih memakai eskpresi yang sama.

“Bagaimana kau bisa tinggal di apartmen mewah seperti ini? Woah, tempat ini bahkan bisa menampung lima orang sekaligus,”

Myungsoo tak tahu mengapa ia membawa gadis ini ke apartemennya. Tampaknya gadis itu kehilangan ingatannya. Namun, sekeras apapun ia memikirakan alasan atas keputusannya membawa wanita itu, Myungsoo tetap melakukannya. Ia bahkan mengobati kaki kirinya.

“Makanlah apapun yang kau temukan di kulkas, dan pakailah baju apapun yang ada di lemariku. Jika kau pikir sudah bisa berjalan dengan baik, pulanglah atau pergi ke kantor polisi berhubung kau tidak mengingat apapun.” Ucap Myungsoo seraya memakai jaketnya.”Aku pergi.” Dia pamit, begitusaja pergi meninggalkan wanita yang hanya bisa memandangnya heran.

.

.

.

“Selamat datang!” Suara riang itu menyambut Myungsoo yang kaget setengah mati.

Shit! Kenapa kau masih disini?” Ia membalas dengan pekikkan, yang alhasil membuat tamunya itu terperajat.

Sebelum wanita itu menjawab, Myungsoo melepaskan jaketnya lalu melemparkan tubuhnya di sofa yang empuk. Sejujurnya, ia tak perduli jika wanita itu tinggal.

“Apakah kau sudah makan malam?” Gadis itu bertanya dengan hati-hati.

Myungsoo membuka matanya dengan malas dan melihat ke arah sang gadis,”Apa kau menyiapkan sesuatu?” Tanyanya yang dibalas oleh anggukan mantap.

Myungsoo menarik salah satu kursi yang ada di meja makan sebelum duduk di atasnya. Melihat makanan rumah terhidang di atas meja, Myungsoo menyeringai, merasa asing karena makanan seperti ini sudah lama tak ia rasakan.”Apa kau yang membuat ini?”

“Ya, tapi maafkan aku. Hanya itu yang bisa aku buat mengingat di kulkas semuanya hampir makanan instant,” Wanita itu menjawab.

Myungsoo mencoba sup kimci yang masih hangat, kemudian terkikik.”Apakah ibuku yang membawanya? Aku tak ingat terakhir kali aku merasakan masakan seenak ini. Kurasa, aku harus membawamu ke supermarket besok,”

Myungsoo tidak yakin jika warna yang tiba-tiba muncul di kedua pipi gadis itu bisa disebut merona, namun yang pasti dia tidak bisa menerima fakta bahwa dirinyalah satu-satunya yang makan sementara ada orang lain yang melihatnya makan.“Jangan hanya berdiri disana. Ayo makan.” Perintahnya.

Gadis menurut dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya.”Terimakasih, tuan!”

“Myungsoo. Itu namaku. Dan kurasa kau perlu nama juga.” Myungsoo mengendikkan bahu,”Aku tak tahu harus memanggilmu apa.”

Gadis itu menggigit bibir bawahnya,”Tapi …aku tak tahu nama yang harus kuberikan pada diriku sendiri.” Ia menjawab hampir seperti sebuah bisikan.

.

.

.

Menghela nafas, Myungsoo melihat ke sekitar apartmennya. Entah bagaimana ia harus memberikan nama pada gadis itu. Dirinya sudah mencoba mencari di internet, tapi semua nama yang muncul tidak sesuai dengan seleranya. Semua itu tidak cocok dengan wajah sang gadis, yang Myungsoo gambarkan sebagai kecantikan dan kelembutan.

Kemudian, ia mencari sesuatu dari koleksi kaset-kasetnya, baik lama maupun baru yang ia sudah tata rapi di salah satu rak bukunya. Ketika ia memilah milih, salah satu kaset girlgrup menyita perhatiannya. Ia tidak tahu bagaimana bisa ia mempunyai album itu, yang jelas ia sudah mendapatkan nama yang cocok untuk gadis itu.

“Hey,” Panggil Myungsoo. Jiyeon yang sedang mencuci piring menoleh kebelakang.

“Apa kau membutuhkan sesuatu?” Jawabnya dengan senyum cerah.

“Jiyeon.”

Ne?”

“Namamu Jiyeon.”

Myungsoo berpikir gadis itu suka dengan nama yang ia berikan, terbukti dengan sang gadis yang terus menggumamkan nama ‘Jiyeon’ dengan senyum merekahnya.

.

.

.

Myungsoo tak bisa fokus untuk mengagumi bagaimana indahnya malam ini saat telinganya mendengar suara isakan yang berasal dari ruangan di sebelanya. Tak perlu mengetuk pintu terlebih dahulu untuk masuk, Myungsoo membuka pintu dan mendekati tamunya.

“Myungsoo, apa kau perlu sesuatu? Haruskah aku menyiapkannya untukmu?” Wanita yang ia berinama Jiyeon pun bertanya sembari mencoba menahan air matanya.

“Aku tidak membawamu kesini untuk menjadi pembantuku,” Myungsoo menjawab. Lantas, ia lebih mendekat dengan duduk di tepi kasur Jiyeon.

“Apa yang terjadi?” Myungsoo ingin menertawakan dirinya sendiri. Ia tidak terdengar seperti prihatin sama sekali.

“Itu..itu sangat menakutkan ketika kau tidak mengingat apapun,” Suara Jiyeon bergetar.  Namun, sesegera mungkin ia merubah ekspresinya saat menatap Myungsoo.

“Lu-lupakan saja. Ini bukan apa-apa.” Katanya, masih dengan senyuman yang terpatri di wajahnya.

“Apa kau ingin aku menenangkanmu?” Myungsoo menawari. Sayangnya, Myungsoo tidak memberikan Jiyeon kesempatan untuk menjawab. Dengan kasar, Myungsoo mulai mencium bibir Jiyeon tanpa memperdulikan wanita itu menggeliat, berusaha menghentikan  Myungsoo.

“Tidak! Hentikan!” Jiyeon berteriak. Ia mulai menarik rambut Myungsoo dengan sekuat tenaga, namun ia malah mencengkram dan meletakannya di atas kepala Jiyeon, sementara ia terus melanjutkan kecupan-kecupannya menuju leher Jiyeon.

Dirasa cukup merangkul Jiyeon dengan salah satu tangannya, Myungsoo menemukan ujung kaos abu-abu yang Jiyeon pakai lalu merobeknya. Tak apa, lagipula itu adalah kaosnya sendiri. Namun. saat tubuh Jiyeon sudah tersingkap di depan matanya, ia melihat luka-luka yang cukup besar, terlihat masih baru namun sudah kering di kulit mulus Jiyeon, wanita yang tengah mengalami amnesia itu.

“Fvck!” Myungsoo menggeram. Ia melepaskan Jiyeon dan pergi keluar dari kamar itu.

.

.

.

“Kau masih disini?” Myungsoo bertanya saat ia melihat Jiyeon membeku di tempat ia berdiri.

“K-kau… kau te-tetap harus pergi ke supermarket sehingga kau tidak akan lagi memakan ramen untuk sarapan dan … dan… kau bilang aku harus ikut denganmu,” Jawab Jiyeon tanpa menghentikan aktivitasnya menyiapkan sarapan berupa ramen untuk Myungsoo.

.

.

.

“Aku rasa kau adalah pria yang baik,”

Myungsoo tertawa sendiri di dalam mobil saat ia mengingat Jawaban Jiyeon ketika ia bertanya mengapa Jiyeon tidak takut padanya setelah apa yang ia lakukan.

“Kau bisa melanjutkan apa yang kau inginkan padaku tapi kau berhenti saat melihat luka di tubuhku.”

“Kau menyelamatkanku, Myungsoo. Kau adalah pahlawanku.”

Myungsoo menghentikan mobilnya dan mengambil nafas dalam-dalam. Dari semua yang Jiyeon katakan padanya, Myungsoo hanya bisa menjawab …

“Jiyeon, kau bodoh.”

.

.

.

Siapa di dunia ini yang belum pernah pergi ke taman bermain? Tampaknya, itu Jiyeon. Walaupun wanita itu kehilangan ingatannya, Myungsoo tahu pasti Jiyeon belum pernah pergi ke taman bermain bahkan sebelum insiden itu terjadi.

Tiga bulan tinggal bersama Myungsoo, masih tidak ada segaris cahaya ingatanpun dari masa lalunya yang masuk ke pikiran Jiyeon.

Dan untuk Myungsoo sendiri, tiga bulan adalah waktu yang cukup untuk membuatnya tak bisa hidup tanpa anjing tersesat yang ia pungut dari lorong apartmennya pada suatu hari saat hujan mengguyur di pagi hari.

Myungsoo tidak bisa hidup tanpa Jiyeon.

“Myungsoo!”

Myungsoo melihat ke sekitar, mencari sumber suara yang memanggil namanya. Ia melirik Jiyeon yang sedang membeli es krim dahulu sebelum menatap pemilik dari suara itu.

“Kim Myungsoo!” Laki-laki itu tersenyum pada Myungsoo.”Aku tidak pernah berpikir kita akan bertemu lagi setelah tiga tahun dan di taman bermain pula!”

“Nam Woohyun.” Myungsoo tak tersenyum sedikitpun pada laki-laki yang tengah menggandeng wanitanya itu.

“Ada apa dengan ekspresimu itu, Myungsoo-yah? Apa kau tak senang melihatku?” Tanyanya.

“Myungsoo, maaf aku membuatmu menunggu. Oh─maafkan aku. Apakah aku mengganggu?”

Myungsoo melihat Jiyeon yang sudah ada disisinya dengan membawa dua cone ice cream di tangannya.

“Wow, Myungsoo lihat siapa ini?” Pria yang bernama Woohyun itu menggoda Myungsoo. Ia bisa merasakan laki-laki itu tengah memperhatikan Jiyeon dari bawah sampai atas.

Dengan sigap, Myungsoo merangkul bahu Jiyeon dan membawa gadis itu menjauh dari Woohyun.”Ayo pergi, Jiyeon.”

“Yah! Bagaimana kau bisa begitu dingin padaku? Ayo bertemu lagi secepatnya!” Woohyun berseru. Myungsoo tahu, segera Woohyun itu berarti sangat segera.

.

.

.

Bangunan-bangunan disekeliling apartmen Myungsoo sudah menyalakan lampunya masing-masing saat malam datang. Di beranda itu, Myungsoo bisa melihat apapun namun tidak dengan salah satu yang ia ingin sekali ketahui: Masa depan.

“Myungsoo,”

Pikirannya terhenti ketika Myungsoo mendengar suara Jiyeon. Suara bak sebuah lagu yang menyembuhkan jiwanya.

“Berapa lama lagi kau akan menyembuhkan jiwaku?” Myungsoo bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari cahaya-cahaya perkotaan.”Jiyeon, kau akan meninggalkanku begitu ingatanmu kembali, persis seperti cahaya di malam hari yang akan menghilang saat matahari datang.” Hatinya seakan terisis saat ia mengucapkan hal itu.

“Kenapa kau berbicara seperti itu, Myungsoo?” Jiyeon balik bertanya, tak mengerti dengan jalan pikiran Myungsoo.

“Saat kau mengingat semuanya, kau akan melupakan semuanya, semua yang sudah terjadi tiga minggu ini. Kau akan melupakan siapa Jiyeon. Siapa aku─”

“Itu tidak akan terjadi!” Jiyeon menyela.

Myungsoo mengalihkan padangannya menuju Jiyeon, dan begitu kagetnya dia saat melihat Jiyeon sudah terisak.”Jiyeon, kau akan─”

“Aku tak akan melupakanmu! Aku tidak mengharapkan untuk melupakanmu!” Ucap Jiyeon disela tangisnya.”Aku ingin tetap disisimu selamanya, Myungsoo! Jangan buang aku, kumohon!”

Myungsoo mendekati Jiyeon lalu mendekap tubuh rapuh itu. Kemudian, ia menangkup wajah Jiyeon dan menghapus air mata di pipinya.”Kau akan menyesali keputusanmu, Jiyeon.”

“Tidak akan. Karena… karena aku mencintaimu, Myungsoo.” Jiyeon mengungkapkan perasaannya.

Myungsoo menghela nafas,”Jangan membuat ini menjadi berat untukku, Jiyeon.”

Alih-alih menjawab, Jiyeon mencium lelaki di hadapannya itu. Ciuman yang memberitahunya bahwa dia tidak akan pergi kemanapun, yang memberitahunya bahwa ia akan selalu ada di sampingnya. Seiring ciuman yang semakin dalam, Myungsoo berpikir bahwa Jiyeon rela memberikannya apapun.

Myungsoo menunggu Jiyeon untuk menghentikan dirinya dari menciumi leher dan meraba seluruh tubuhnya. Namun yang Myungsoo dengar malah namanya, menyamarkan erangan yang keluar dari mulut Jiyeon untuk membawanya menjadi satu,  membuat Jiyeon menjadi miliknya.

.

.

.

Myungsoo bukan tipikal pria yang mengutarakan pertanyaan menggelikan seperti mengapa kau menyukaiku? Terutama setelah melakukan sex. Namun untuk beberapa alasan, ia mengutarakannya begitu saja, dan tentu saja Jiyeon sudah punya jawaban untuk pertanyaan itu.

“Aku punya perasaan bahwa aku sudah mengenalmu, bahwa kita pernah bertemu. Mungkin, kita bertemu satu sama lain di suatu tempat. Mungkin aku sedang bekerja di supermarket lalu kau membeli sesuatu disana, hmm entahlah. Melihat betapa kayanya dirimu, bertemu denganmu  tampaknya akan mustahil tapi aku percaya pada takdir. Kaulah satu-satunya hal yang sangat jelas sementara semua hal di sekelilingku sangat blur.” Jiyeon tersenyum hangat.

Myungsoo menyeringai, melihat Jiyeon yang terlonjak kaget karena pria itu mengubah posisinya ke atas Jiyeon lagi.”Kau harus tahu kapan semestinya kau berhenti berbicara, Jiyeon. Kau membuatku gila setiap kali kalu berucap.” Myungsoo berbisik tepat di telinga Jiyeon, dengan suara pelan namun dalam.

Aku percaya pada takdir.

Myungsoo berpikir ia harus mulai percaya pada takdir juga.

.

.

.

Myungsoo tidak terkejut ketika bertemu kembali dengan Woohyun di salah satu bangunan milik rekan kerjanya dua minggu setelah pertemuan tak disengaja di taman bermain saat itu.

“Apa mungkin kau tahu bahwa mobilku sedang di cuci hari ini?” Tanya Myungsoo sembari mengencangkan sabuk pengamannya, tak lupa menatap Woohyun yang berada di kursi kemudi.

“Ini benar-benar kebetulan, Myungsoo!” Woohyun menyeringai.

Myungsoo tidak berucap lagi setelah Woohyun menjalankan mobilnya. Ia hanya melihat-lihat benda yang berada di dalam mobil itu, sampai sesuatu menyita perhatiannya.

“Kau menyimpan ini di dasboard mu?” Myungsoo menunjuk benda yang ternyata sebuah pistol.

Tawa Woohyun melengking,”Aku agak menggunakannya sesaat yang lalu dalam kemacetan. Yah, hanya untuk menakut-nakuti orang.”

“Katakan padaku, Myungsoo.” Woohyun mengubah topik.”Apa kau ingat projek terakhir kita tiga tahun yang lalu?”

Myungsoo memilih diam.

“Kau menyewa anak buahku untuk mengancam pemilik perusahaan yang meminjam sejumlah uang padamu. Sayangnya, direktur dan istrinya itu bunuh diri dan menyerahkan hutang-hutang pada anak semata wayang mereka. Aku bertaruh gadis itu pasti sangat membenci kita, terutama kau, Myungsoo. Jadi bayangkan betapa kagetnya aku saat melihatmu bersamanya di taman bermain dua minggu yang lalu.” Woohyun kembali mengeluarkan seringaian yang Myungsoo sangat benci.

.

.

.

Tiga minggu yang lalu.

Pada suatu pagi yang dingin, saat hujan mengguyur kota dengan deras, kepala Myungsoo seakan berputar setelah ia menghabiskan malam di bar miliknya dengan minum sampai mengosongkan isi bergelas-gelas whiskey, mencoba menghilangkan stresnya.

Dengan payung yang melindungi kepalanya, Myungsoo yang sedang berjalan, tepatya menaiki tangga menuju lorong  apartmennya, mendengar seseorang meneriakkan namanya.

“Kim Myungsoo! Brengsek! Akhirnya, akhirnya, akhirnya aku menemukanmu!”

Myungsoo menoleh, dari jarak beberapa kaki ia melihat seorang wanita, seorang wanita yang sangat cantik. Ia tak akan mungkin melupakan wajah itu. Wajah yang telah dilihatnya tiga tahun lalu. Rasanya tak mungkin Myungsoo melupakan wajah itu; lembut seperti malaikat dan juga polos. Dari dulu ia ingin menjadikan pemilik wajah itu miliknya, namun itu takkan bisa. Tak akan pernah bisa.

Karena wanita itu hanya memandangnya sebagai musuhnya, musuh kedua orang tuanya, dan musuh perusahaanya.

Setelah tiga tahun ternyata tak ada yang berubah, gadis itu tetap terlihat sempurna meskipun ditangannya terdapat pisau yang tajam, menunjuk tepat ke arah wajah Myungsoo.

“Pembunuh! Kau bunuh orang tuaku! Kau adalah alasan mengapa mereka meninggal! Aku akan membunuhmu, Kim Myungsoo!” Pekiknya.

Dengan Payungnya, Myungsoo berhasil menghindar dari serangan wanita itu. Ketika Myungsoo memegang tangannya, gadis itu memberontak. Alhasil, dengan keadaan lantai yang licin pula, gadis itu jatuh dari tangga.

Myungsoo yang terkejut segera turun ke bawah untuk memastikan kondisi gadis yang tak sadarkan diri itu.

“Hey, apa kau masih hidup?”

.

.

.

“Kudengar setelah kematian orang tuanya, gadis itu kehilangan segalanya dan hidup serba kesusahan.” Woohyun memberikan informasi yang ia ketahui pada Myungsoo. Disaat itulah ia ingat luka-luka dan memar-memar pada tubuh Jiyeon tiga minggu yang lalu.

Myungsoo hanya bisa terdiam.

“Aku merasa sakit hati ketika gadis itu tak mengenaliku,” ucap Woohyun, sarkastik.

“Ia kehilangan ingatannya.” Myungsoo akhirnya membuka mulutnya.

“Oh! Aku bisa membuat ingatannya kembali,” Sela Woohyun.”Tapi, kukira kalian sudah menjadi ehm..rasanya aku tak bisa menemukan kata-kata yang cocok untuk kalian. Intinya kau pasti tak ingin kehilangan mainanmu itu ‘kan, Myungsoo?” Tambahannya membuat Myungsoo jengkel.

“Berapa banyak yang kau inginkan?” Tanyanya dingin.

Dengan menyeringai, Woohyun menjawab,”60 ribu won, tuan Myungsoo dan semua kebahagian akan menjadi milikmu.”

.

.

.

Saat Myungsoo pulang, ia menemukan Jiyeon tengah menyiapkan makan malam di dapur. Melihat Jiyeon, walaupun hanya punggungnya membuat Myungsoo tenang setelah stres pasca bertemu dengan Woohyun.

60 ribu won, tuan Myungsoo dan semua kebahagian akan menjadi milikmu.

Myungsoo berjalan pelan ke arah Jiyeon, lalu memberikannya sebuah pelukan. Ia tak bisa menahan seringaiannya ketika melihat Jiyeon terlonjak kaget seperti kucing imut karena ulahnya itu.

“Selamat datang!” Jiyeon memberikan sambutan dengan senyum manisnya.

Myungsoo menenggelamkan wajahnya di perpotongan leher Jiyeon, menghirup aroma tubuh gadisnya.

Senyumanmu itu lebih berharga dari 60 ribu won.

“Aku mencintaimu, Jiyeon…. sangat.” Myungsoo berbisik sambil mengeratkan pelukannya.

Myungsoo merasa bahwa Jiyeon berhenti memotong wortel untuk menatapnya. Ia menganggkat wajanya untuk bertemu pandang dengan kedua mata yang selalu ia dambakan.

Jiyeon mengusap pipi Myungsoo dengan lembut,”Akupun mencintaimu,” Jawabnya.

Myungsoo menggenggam tangan Jiyeon yang beberapa detik yang lalu ia gunakan untuk mengusap pipinya. Kini, giliran Myungsoo yang menangkup wajah Jiyeon sebelum mengujaninya dengan kecupan-kecupan penuh kasih. Hal seperti ini juga sangat menggelikan bagi Myungsoo mengingat ia belum pernah melakukan itu sebelumnya, nammun setelah bertemu dengan Woohyun, ia menyadari bahwa dirinya rela melakukan apapun untuk Jiyeon.

“Kau akan meninggalkanku saat ingatanmu kembali …sshhttt…biarkan aku menyelesaikan perkataanku dulu, sayang.” Ucap Myungsoo ketika melihat Jiyeon akan menyelanya lagi. Ia yakin Jiyeon akan memberitahunya bahwa kekasihnya itu akan tetap berada disisi Myungsoo bahkan ketika ingatannya kembali.

Myungsoo menyatukan keningnya dengan kening Jiyeon, masih dengan tangan yang menangkup wajah mungil itu.”Jiyeon, selama kau belum mengingat apapun, biarkan aku mencintaimu. Kemudian, saat kau mendapatkan kembali ingatanmu, bisakah kau bertumpu pada kenangan-kenangan kita saat ini dan membiarkan aku tinggal di hidupmu seperti ini?” Tanyanya, yang dijawab oleh anggukan mantap beserta senyum merekah dari Jiyeon.

“Jangan membenciku, Jiyeon. Tetaplah mencintaiku,” Myungsoo memohon dengan lirih, tak menyadari bahwa suaranyapun bergetar.

“Aku tak mengerti mengapa kau mengatakan hal ini tapi tolonglah, percaya padaku. Aku tidak akan membencimu, Myungsoo. Aku akan mencintaimu dan bersamamu selamanya.” Jiyeon meyakinkan Myungsoo seakan tahu ketakutan pria itu.

Jangan tinggalkan aku, ucapnya pada diri sendiri sebelum mengecup bibir Jiyeon dengan penuh kasih.

.

.

.

Myungsoo melangkahkan kakinya keluar dari kamar mandi dan menatap wajah kekasihnya yang tengah terlelap, dengan kecantikan yang tak sedikitpun pudar seperti dirinya tiga tahun lalu, Jiyeonnya.

Ia mengambil remot dan menyalakan tv sebelum duduh disamping Jiyeon.

“….Telah ditemukan tubuh tak bernyawa di dalam mobil di daerah Mapo. Mayat itu diketahui bernama Woohyun yang berumur 28 tahun. Berdasarkan laporan polisi, mr.Nam ditembak tepat dibagian kepalanya dan meninggal ditempat. Senjata yang digunakan untuk membunuh korban tidak ditemukan di tempat kejadian ….”

Tanpa mendengarkannya lebih lanjut, Myungsoo mematikan tv dan berbaring di samping Jiyeon. Ia menatap tiap inci wajah cantik gadis terkasihnya itu.

Jiyeon, berapa lama lagi kau akan menjadi Jiyeon, Jiyeonku? Ketika kau mengingat semuanya, aku akan membiarkanmu membunuhku dan mendapatkan balasan yang seharusnya kudapatkan, sesuai dengan rencana awalmu, dengan senjata yang kugunakan untuk menghentikan bajingan yang berusaha merusak apa yang kita punya saat ini, namun untuk sekarang …

“Aku tak akan membiarkan siapapun mengambil kebahagiannku.” Myungsoo berkata pelan sembari mendekap Jiyeon.

Aku tak berharap mempunyai uang banyak, mobil mewah, ataupun permata. Aku hanya berharap ingatan Jiyeon tak akan kembali selamanya.

Apakah aku serakah?

 

FIN.

A/N: Jujur hayoooo siapa yang bacanya dua kali??? hihihi melihat respon dari ff yang sebelumnya, author nista ini seneng banget dapet respon yang hangat dari readers-nim (yah walaupun ffnya angst dan pada pengen narik2 rambut Myungsoo kkkk) Maaf banget gak bisa bales satu2 dikarenakan kuota limit, belum lagi blognya ada musik2 gtu jadi nyedot kuota pasti :””” kalo mau ngobrol lebih jauh, boleh add fb: olive N zakiah atau twitter: @olvmn

Yang kemaren request first time nya day6 udh ada inspirasi tapi angst lagi gak tegaaaa deh post nya xD

Gimana nih soal ff kali ini btw, ada yang belum ngerti gak? disini gak aku gambarin secara detail tapi kalo kalian jeli pasti bisa baca karakter masing2 cast. Atau adakah yang minta sequel lagi? maybe saat ingatan Jiyeon balik? oh noooo kawan-kawan, berasa bakal kaya sinetron kayanya .___.

33 thoughts on “[ONESHOOT] A Wish”

Leave a reply to iann joshi Cancel reply