* HSF FANFICTION, @A'Moore

[Chapter-1] SOUNDS

Sounds

 

Sounds : Goodbye

© Flawless (A’Moore)

Park Jiyeon, Kim Myungsoo, Son Naeun, etc

Previous : Prolog

*

Farewell, God knows when we shall meet again.

William Shakespeare

 

*

5 Years Ago

June, 06, 2015

18 :30 p.m

Serat jingga telah muncul di langit. Sekali lagi keindahan senja yang fana menyapa, menunggu, dan menyambut datangnya kegelapan yang akan menelan keindahannya tanpa tahu malu. Matahari bahkan sudah benar-benar tenggelam sekarang, menyisakan kegelapan ketika jarum pendek dan jarum panjang jam sama-sama berada di angka 6. Dan kali ini peri-peri malam telah benar-benar menyapa dengan tarian bahagia mereka sendiri.

Lelaki itu duduk di sana, sendirian memandangi langit gelap yang tak dihiasi oleh bintang. Tangannya saling tertaut, dan bibirnya acap kali berguman semuanya akan lancar, seolah itu adalah mantra paling baik yang ada di muka bumi ini. Matanya terpejam sampai menit-menit pentingnya terlewat. Hanya diam, tak berminat berubah posisi, bahkan hanya sejengkal pun.

Dia tengah menunggu dengan hati yang dipenuhi rasa khawatir yang nyaris tak sanggup dibendungnya lagi. Dua jam sudah, bukan waktu yang lama –setidaknya baginya- lagi pula dia sudah terbiasa menunggu seperti ini, apa lagi sekarang kasusnya dia sedang menunggu gadisnya sendiri -kepada siapa yang nafasnya telah ia berikan-  maka menunggu seperti ini tidak akan membuatnya meninggalkan seberkas penyesalan. Bahkan sekecil satu tanda titik.

 

21:20:30 p.m

Lelaki itu masih setia di sana, senyumnya masih tak pudar meskipun kali ini terlihat kaku, seperti efek kedinginan. Matanya bergerak melihat arloji berwarna perak yang senantiasa melingkar dengan manis di pergelangan tangannya.

4 jam, bukan hal terburuk, meskipun ia sudah berusaha untuk meredam semua firasat-firasat tak menyenangkan yang sedari tadi datang dan dengan kurang ajarnya berbisik nakal di telinganya. Merayu dan menghasutnya untuk segera beranjak dari posisinya dan menuju ke tempat di mana kemungkinan besar gadinya tengah terperangkap.

Rongga dadanya berelaksasi sekejap nafasnya terhembus dengan kasar. Keningnya dihiasi oleh kerutan-kerutan halus, dan rahangnya pun terlihat menegang, Tidak bisa, firasatnya semakin kuat dan membuat tubuhnya terasa digerogoti oleh katakutan yang ekstrim. Jantungnya pun sekarang mulai bekerja dengan gila, dan kali ini perasaannya mengatakan bahwa ini merupakan pertanda buruk untuknya.

Lelaki itu mengehala sekali lagi, lalu berdiri dan berbalik untuk menuju mobilnya, sebelum akhirnya langkahnya terhenti, dia membeku di tempatnya layaknya orang bodoh. Ke dua sudut bibirnya bekerja sama menarik satu senyuman membalas senyuman indah milik gadisnya yang sekarang sudah berdiri di hadapannya. Hanya berjarak empat langkah darinya.

“Kau kedingininan.”

Senyum lelaki itu kian melebar begitu gadisnya berucap. Suara yang selalu dikatakannya menyerupai suara lembut ibunya ketika tengah membacakannya dongeng dan menyanyikannya lagu pengantar tidur. Kakinya melangkah lebih dekat sampai wajah gadisnya benar-benar tampak nyata di hadapannya, kemudian lengan kokohnya meraih tubuh ramping gadis itu bertumpu pada tubuhnya. Didengar dengan sangat jelas kekahan kecil gadis yang masih terkurung dalam dekapannya ini. Benar-benar menenangkan kegelisahannya sejak tadi.

“Kau membuatku takut, kalau kau mau tahu.”

Suara lelaki itu lirih berbisik di telinga mungil gadisnya, lalu kembali kekahan kecil yang menari di telinganya. Indah, sangat indah. Dia menghirup dalam-dalam aroma lily kesukaannya di antara lekuk leher gadinya, dan sesekali mengecup pucak kepala gadisnya dengan penuh rasa terima kasih.

“Kau berlebihan lagi, Myungsoo.”

Lelaki itu –Myungsoo- menanggapinya hanya dengan deheman semata tanpa mau bersusah payah untuk mendebat gadisnya. Bagisnya, sekarang yang terpenting adalah menghabiskan waktunya bersama gadisnya. Tersenyum, tertawa, dan saling berbagi keluh kesah yang mengganjal di hati mereka masing-masing.

“Aku hanya ingin terus seperti ini, selamanya jika seandainya bisa.”

Myungsoo jelas menyadari akan nada sedih yang terselip rapi di antara pengucapan gadisnya, namun menampik semua kemungkinan terburuk dari arti nada suara gadisnya, dia justru memilih untuk tersenyum untuk yang kesekian kalinya.

“Kita akan terus seperti ini. Selamanya, Naeun-ah.”

Satu hal ini yang selalu diabaikannya dan juga sebagian besar orang lainnya, bahwa segala sesuatu di dunia ini bersifat fana, tak abadi, dalam artian tidak akan bisa bertahan selamanya. Nyaris menyerupai keindahan senja yang tak bisa bertahan lama untuk memerangi kegelapan yang menelannya, begitu pun kehidupan, yang suatu saat nanti ada sebuah halangan yang pasti akan datang untuk merenggut sesuatu yang berharga dalam hidup sekalipun.

 

*

23:58:25 p.m

Di tengah-tengah kegelapan dan kesunyian malam, pria dan wanita nampak mengendap-ngendap bagai pencuri membawa satu kue tart yang dihiasi dengan lilin angka 14 di atasnya. Sang pria meraih gagang pintu di hadapannya, lalu melangkah masuk dan memberikan kode dengan tangannya pada si wanita untuk menyuruhnya mengikut dari belakang. Pria itu melihat jam dari handphone-nya, masih sekitar satu menit setengah lagi sebelum jam benar-benar menunjukkan pukul dua belas tepat. Mereka menghabiskan satu menit membosankan itu dengan diam dan menunggu dengan sabar seraya menyiapkan suara masing-masing untuk berteriak nantinya.

00 : 00 a.m

“Happy birthday our Jiyeon!” Pasangan itu berteriak heboh sembari berputar-putar tak tentu sehingga membuat gadis pemilik nama yang baru saja mengumpulkan sisa-sisa kesadarannya termenung, kebingungan tepatnya.

“Appa, Eomma, apa yang kalian..malam-malam begini.. Ya Tuhan.”

“Happy birthday our Jiyeon!” sekali lagi pasangan itu berteriak heboh seolah memberikan jawaban atas pertanyaan putri mereka. “Make a wish, lalu tiup lilinnya.”

Gadis itu –Jiyeon- menurut tanpa mengucap kata lagi. Disatukannya kedua tangannya lalu ia letakkan di tengah dadanya, dan matanya terpejam.

“Aku mengharapkan kebahagian lebih dari-Mu.”

Selesai dengan permintaannya, Jiyeon meniup lilin angka empat belas itu dengan penuh rasa hikmat dan syukur yang tak bisa terucap. Dipeluknya kedua orang tuanya dengan rasa bahagia yang membuncah dalam dadanya, bersiap untuk meledak jika tidak segera dibagi kepada kedua orang tuanya.

“Aku mencintai kalian, Appa, Eomma.”

“Appa tahu.”

“Eomma tahu.”

Orang tuanya menyahuti kalimatnya secara bersamaan, lalu mereka pun melepaskan tawa renyah. Saat ini waktu berjalan, dan ia akan terus berterima kasih kepada-Nya yang sekarang ini telah mengabulkan permintaannya untuk lebih bahagia. Dan mari berharap bahwa permintaannya bisa bertahan lama.

Suara deringan handphone merusak moment kebersamaan mereka, dan ayahnya bahkan langsung menerima telephone itu tanpa berpikir lebih panjang lagi.

Jiyeon tak tahu menahu apa yang tengah dibicarakan ayahnya dan si penelpon, tetapi melihat bagaimana ayahnya tersenyum lebih lebar dari sebelumnya membuatnya tahu bahwa ada kabar yang sangat baik di hadapannya.

“Kita ke rumah sakit, sekarang,” ada jeda singkat yang diberikan ayahnya karena terlalu bersemangat, lalu lelaki setengah baya itu melanjutkan kalimatnya. “Kita mendapat tambahan anggota keluarga.”

Dan tidak ada lagi yang bisa dilakukannya selain tersenyum dan berterima kasih atas limpahan kebahagian yang datang padanya saat ini.

*

           Tak terhitung lagi berapa kali Jiyeon tertawa puas di pelukan ibunya, sementara ayahnya sibuk melontarkan lelucon aneh yang secara kebetula lucu didengar. Sesekali ayah dan ibunya juga masih mengulangi lagu selamat ulang tahun untuknya, meski pun sudah ia minta berhenti, namun akhirnya ia juga ikut terlarut dalam lagu itu.

Jiyeon kian mengeratkan pelukannya pada ibunya, meminta untuk lebih dimanja dari sebelumnya. Matanya menjadi berat secara tiba-tiba, padahal sebelumnya dia yakin seratus persen bahwa sudah terjaga sepenuhnya, tapi lihat sekarang bagaimana mulutnya yang terbuka untuk menguap lebar tanpa tahu diri.

“Sepertinya ada yang ingin tidur sekarang.”

Jiyeon hanya mencebik kesal seraya memandang lurus ke depan ketika ayahnya berbalik sebentar untuk mengacak rambutnya.

Mata Jiyeon melebar begitu melihat cahaya yang begitu terang mendekat ke arah mereka dengan sangat cepat. Dia sangat ingin berteriak, namun suaranya tercekat di tenggorokannya entah karena alasan apa, sampai akhirnya ibunya lah yang memekikkan nama ayahnya. “Jonghonah.” Begitu katanya, dan setelah itu ia tahu semuanya sudah terlambat. Cahaya terang itu tak lagi bisa dihindari.

Bersamaan dengan rasa sakit yang sedikit demi sedikit merangkak naik menuju tubuhnya, Jiyeon menyadari sesuatu ; kebahagiannya telah direnggut hanya untuk rasa sakit ini. Air matanya jatuh tepat setelah tak ada lagi cahaya yang bisa dilihatnya. Dirinya hilang, tertelan kegelapan malam yang menakutkan.

*

June, 07, 2010

08:00 a.m

Tenang, hanya suara-suara alat makan yang berseteru dengan piring yang bisa didengar. Lelaki itu duduk di sisi kanan meja makan, bersebrangan dengan ibunya yang sangat anggun memasukkan roti ke dalam mulutnya. Dia melirik wajah serius ayahnya yang sudah termakan oleh usia, tetapi masih tetap memiliki daya tarik sendiri, lalu pada adik gadisnya yang berusia empat belas tahun di sampingnya makan dengan cara tak sopan, dan akhirnya pandangannya berakhir di piringnya sendiri. Senyumnya entah bagaimana tidak bisa menghilang dari bibirnya, seolah-olah ada dua perekat di sudut bibirnya yang menahan untuk terus tertarik membentuk senyum.

Dia melihat ayahnya sudah membersihkan bibirnya dengan tenang, dan ia mengetahui bahwa topic tentang dirinya akan segera diangkat oleh ayahnya.

“Jadi, hari ini ‘kan?”

Alih-alih menjawab, Myungsoo justru mengangguk dengan bangga apa lagi melihat wajah ayahnya yang bahkan lebih sumringah dibandingkan dirinya sendiri. Dia melirik adiknya yang mencibir padanya, yang ia balas dengan kerlingan mata. Dan ibunya, oh jangan ditanya. Sekarang mata ibunya terpusat padanya, memujinya dengan bahasa isyarat mata.

“Bagaimana Naeun, apa dia akan datang?” ibunya bertanya.

Pertanyaan itu membangkitkan semangatnya semakin tinggi. Nama Naeun memang sangat bagus untuk mempengaruhi semangat hidupnya.

“Bagaimana mungkin dia melewati hari wisudaku,” ucapnya penuh rasa percaya diri seolah-olah semuanya akan berjalan dengan apa yang berada digambaran pikirannya.

Kembali mereka semua diam setelah Myungsoo menjawab pertanyaan simpel ibunya, lalu datang bunyi pengganggu dari bel rumah. Secara otomatis Myungsoo berdiri, langsung berlari menuju pintu dengan debaran yang tak beraturan. Naeun, pikirnya senang.

Dibukan pintu rumahnya dan menemukan seorang pria pengantar barang dengan seragamnya. Dia menghela kecewa.

“Kim Myungsoo?”

Myungsoo menganggukkan kepalanya, dan meraih paket yang diberikan si pria pengantar barang kepadanya. Dia memperhatikan paket itu hati-hati. Paket itu kecil dengan diselimuti oleh kerta berwarna biru langit yang tenang sebagai penutupnya, lalu ada sebuah kartu ucapan kecil yang tertempel di atasnya. Rautnya berubah. Dia membuka paket itu tidak sabar, mendapati sebuah jam tangan berwarna silver idamannya selama satu bulan terakhir ini. Tipekal Naeun. Membayangkan wajah Naeun melihatnya memakai jam tangan itu semakin membuatnya bertambah semangat. Kemudian, dia membuka kartu ucapan kecil itu dengan hati-hati, seolah jika kartu ucapan itu rusak maka Naeun juga mengalami hal yang sama. Kau berlebihan, kau tahu. Begitulah sindirian yang datang dari sisi lain darinya, tapi peduli setan tentang ucapan sisi lainnya itu. Pendapat mereka tak penting untuknya.

See you again, Myungsoo­-ya

           Love,Naeun.

Myungsoo menjatuhkan kotak jam tangan itu setelah otaknya sudah benar-benar mencerna maksud kalimat singkat Naeun. See you again. Itu kalimat perpisahan, iya ‘kan? Tapi kenapa Naeun mengucapkannya, mereka bahkan tidak memiliki niat untuk saling berpisah, atau mungkin hanya dirinya yang tak ingin berpisah. Pemikiran pendek itu seperti membunuhnya perlahan dari dalam. Jantungnya bekerja lambat, terbalik dari sebelumnya.

Ini tidak benar. Salah besar. Hari ini seharusnya menjadi sejarah manis. Dia lulus dari perguruan tinggi, dan akan meresmikan hubungannya dengan Naeun dalam ikatan pertunangan. Tapi, permainan takdir macam apa ini?

Myungsoo mengambil handphone dari saku celananya, lalu segera menelpon Naeun. Berulang kali ia menggumankan, jawab, aku mohon. Namun, nihil. Tidak ada jawaban. Tidak bisa seperti ini. Rencananya harus berjalan sesuai dengan bayangannya, dan hilangnya Naeun merupakan bencana besar untuk rencananya. Myungsoo mengambil kunci mobil yang terlhat di atas meja, lalu langsung berlari meninggalkan rumahnya.

*

11:40 a.m

Suasana di depan ruangan itu terlihat mencekam, setiap orang yang menunggu nampak tegang. Nyaris semua dari mereka menangis, selain para pria yang berusaha untuk menenangkan tangis yang sejak beberapa jam lalu dimulai.

“Berengsek, setelah mengambil Hana, mereka mengambil Jiyeon-ku.” Jonghon berteriak frustasi. Air matanya jelas mengalir di wajahnya yang dihiasi oleh luka lecet. Tubuhnya sakit, sangat. Tetapi remasan di jantungnya justru adalah hal terburuk. Istri dan anaknya meregang nyawa sendirian, sementara dirinya diam menyedihkan seperti sekarang. “Biarkan aku masuk, sialan!”

Seorang wanita berumur 67 tahun memegang bahunya yang bergetar. Jonghon menangis lebih deras sekarang melihat wajah tua ibu mertuanya. Wanita itu juga berduka sepertinya. Jonghon memeluk wanita itu erat-erat, membayangkan bahwa wanita itu adalah Hana dan Jiyeon, istri dan anak tercintanya.

“Semua akan baik-baik saja. Mereka kuat, kalau kau lupa.”

Tidak berguna. Kalimat motivasi itu tidak memiliki dampak besar untuknya. Dia butuh kepastian, bukan seperti ini. Menunggu ketakutan dalam ketidak pastian tentang kehidupan dua orang berharga dalam hidupnya.

“Aku harap begitu.”

Pintu ruangan yang sedari tadi tertutup rapat kini akhirnya terbuka dan seorang pria dengan maskernya keluar bersama satu orang perawat. Spontan Jonghon langsung menyerbu dokter itu dengan pertanyaan.

“Park Jiyeon, dia sudah baik-baik saja dan akan segera kami pindahkan ke ruangannya.”

Lalu putri kecilnya dibawa keluar. Jonghon mendekati ranjang rawat putrinya, menatapi wajah putri cantiknya yang pucat. Air matanya jatuh lagi, satu permatanya berhasil terselamatkan. “Putri Appa yang kuat, kau hebat, sayang.” Dia berbisik di telinga Jiyeon dengan nada bergetar. Dan akhirnya putrinya dibawa pergi oleh beberapa perawat.

Pandangan Jonghon kembali jatuh pada sang dokter menunggu pria itu mengatakan sesuatu tentang istrinya. Kemudian beberapa perawat lagi keluar dengan satu ranjang rawat yang ia yakini milik istrinya. Berbeda dengan ranjang Jiyeon yang dihiasi oleh alat-alat medis, milik istrinya justru polos, bahkan wajah istrinya ditutupi kain. Kain yang seharusnya hanya menutupi sebagian tubuh Hana justru menutupi seluruh tubuhnya. Jonghon merasakan udara tak masuk ke dalam paru-parunya.

“Maaf, kami tidak bisa menyelamatkan, Ny.Kim,” dokter itu berkata dengan nada menyesal. “Waktu kematian 11:30 a.m”

Entah mengapa perkataan dokter itu terasa seperti vonis hukuman mati baginya. Jantungnya terasa diremukkan tanpa belas kasihan. Dan suara tangis dibelakangnya seolah menjadi latar belakang kesedihannya. Dia melangkah mendekati istrinya dengan ragu-ragu. Jonghon berdiam diri menatapi sosok Hana yang kaku. Dia menarik kain putih yang menutupi wajah cantik Hana. Dan dia menangis lagi, kali ini bagai seorang anak bayi. Persetanan dengan di mana sekarang dia berada.

“Hana, Hana, Hana,” ujar Jonghon lirih. “Hana, bangun, hei kita sedang tidak bercanda.” Dia menangkup wajah Hana yang dingin dalam tangannya. Air matanya terus berderai, tak sanggup lagi untuk berhenti. Wajahnya ia dekatkan mencium rambut Hana yang masih terlihat indah baginya. Air matanya mengenai wajah Hana. “Bagaimana aku akan mengatakannya? Bagaimana? Ya Tuhan, tolong beritahu aku, Hana-ya!” Jonghon tak bisa menahan perasaan sesak yang mengekangnya lagi. Wanitanya, istrinya, kekasinya baru saja meninggalkannya bagaimana dia bisa menjadi Kim Jonghon yang tenang jika seperti ini. “Tolong katakan bagaimana caranya aku menyampaikan ini pada Jiyeon, bagaimana bisa aku mengatakan bahwa ibunya pergi di hari bahagianya.”

“Jonghon-ah.” Itu suara kakaknya, memperingatinya untuk menjadi lebih tenang.

Jonghon mengabaikan teguran lembut itu, dia kembali focus pada Hana yang masih diam tak meresponnya. Aku tidak siap untuk ini, batinnya menjerit, meronta karena terlalu sakit. Mata Jonghon terpejam, membiarkan lelehan air matanya kembali menyentuh pipinya. “Aku mencintaimu, sangat.” Dan dia tersenyum di antara tangisnya, lalu mencium pipi istrinya dengan penuh rasa sayang.

Waktu berikutnya yang berlalu semakin menyesakkan dadanya, istrinya dibawa pergi darinya. Jauh. Terlalu jauh untuk bisa ia jangkau dengan tangannya yang kosong tanpa kuasa.

*

18:00 p.m

Menunggu. Lagi, tapi kali ini benar-benar membuatnya merasakan siksaan setiap detiknya. Gadisnya benar-benar pergi. Dia tahu bahwa gadisnya tidak akan kembali meski dia akan duduk di depan apartment gadisnya sampai esok hari, namun entah mengapa langkahnya tak pernah mau meninggalkan tempat ini.

Hari ini, hari yang seharusnya jadi sejarah telah hancur. Ayahnya pasti akan marah besar padanya karena tak mendatangi hari wisudanya dan memilih menjadi orang bodoh seperti ini. Tapi, Naeun, gadisnya jauh lebih membutuhkannya. Tapi, di mana dia berada? Sekali lagi suara lain dari dirinya menyindir dengan sinis.

“Diam kau, dasar berengsek!”

Myungsoo tahu akan dikatai gila, tapi biarkan saja. Dia menekuk lututnya, dan menenggelamkan kepalanya diantaranya. Penampilannya sudah lusuh, tak lagi serapi pagi tadi sebelum paket itu datang. Dia merasa dirinya seperti seongok sampah tak berguna.

Handphone-nya berbunyi, lalu dengan kasar ia menjawab panggilan itu.

“Katakan dengan cepat,” hardiknya tak berperasaan.

“Dia meninggalkan Seoul. Dia pergi ke luar negeri saat pagi buta.”

Dia pergi. Naeun pergi meninggalkannya. Myungsoo tertawa hambar cukup lama, lalu kemudian terbahak bagai orang kehilangan akal. Dia melemparkan handphone-nya ke sembarangan arah. Dia baru saja dicampakkan, itu tidak benar ‘kan?

“Argh!”

*

           22:10 p.m

Aroma obat-obatan yang tak pernah disukainya langsung menyerbu penciumannya begitu kesadarannya datang. Dia meringis merasakan sakit di seluruh tubuhnya. Lalu ia terdiam, cahaya, gelap, pelukan erat ibunya, dan rasa sakit itu semua datang menyerbu ingatannya. Tiba-tiba dia merasakan perasaan yang membuat perasaannya risau. Ayah dan ibunya, mereka harus baik-baik saja.

Langkah kaki yang tergesa-gesa masuk ke ruangan Jiyeon. Disana Jiyeon melihat seorang pria awal tiga puluhan dan dibalik tubuh pria itu ada ayahnya. Dia menghela lega, ayahnya di sana. Terlihat baik-baik saja, meskipun wajahnya ada beberapa lecet, juga keningnya yang dihiasi sedikit perban, dan penampilan ayahnya yang tak terurus. Perasaan itu datang lagi membuat tubuhnya menggigil ketakutan.

Dia memandang bertanya pada ayahnya karena terlihat ragu-ragu mendekatinya setelah pria awal tiga puluhan itu selesai memeriksanya. Dia ingin berucap, bertanya mengapa ayahnya bersikap aneh namun suaranya tertahan, tak bisa keluar dengan leluasa.

“Kim Jonghon-ssi, aku harap anda bersedia mendiskusikan masalah Jiyeon setelah kalian selesai.” Dan dokter itu akhirnye pergi dari ruangannya.

Ayahnya melangkah mendekatinya dengan lambat, lalu duduk di samping ranjangnya, memandanginya dengan manik mata penuh duka. Jiyeon tidak suka ini, ayahnya hanya memandangnya seperti ini jika ada kabar buruk, dan saat yang ia butuhkan adalah kabar bahagia bukan kabar yang bisa menghancurkannya.

“Eomma..”

Lalu ayahnya mulai menangis di hadapannya.

“Dia pergi, jauh, jauh sekali. Dia pergi menyampaikan salam kita untuk Tuhan.”

Jiyeon tidak mendengar ucapan ayahnya dengan benar. Pendengarannya bekerja tidak benar. Namun, melihat bagaimana ayahnya menangis tersedu sudah cukup memberikannya penjelasan. Dia ikut menangis, sembari sesekali mengulang panggilang eomma.

“Maaf, Jiyeon-ah.”

Tangis Jiyeon semakin menjadi. Tidak ada sepatah kata pun yang bisa dia ucapkan sekarang. Dia tidak bisa menangis bebas, ayahnya juga sama sepertinya. Penuh duka, dan menangis menuangkan semua kesedihannya akan membuat ayahnya terbunuh dengan sakit dihatinya.

“Maaf, maaf.”

Sementara mereka menghabiskan waktu menangis, berbagi sakit yang sama, Jiyeon pun harus merasakan kepedihan dan rasa sesal ayahnya atas semua ini.

*

June, 08, 2010

Gadis itu duduk di kursi rodanya menggunakan pakaian serba hitam terkutuk yang selama ini berusaha dia hindari. Matanya terus memperhatikan prosesi pemakaman yang sedang berlangsung. Dia menangis, tentu saja. Rasa kehilangannya semakin besar dan semakin membuatnya ingin mengikuti ibunya dan meninggalkan ayahnya. Namun, kilasan wajah hancur ayahnya malam kemarin memukulnya telak sampai membuatnya tak bisa berpikir lebih gila.

Dia memperhatikan senyum palsu yang ditampakkan ayahnya ketika orang-orang menyalaminya dan memberikan ucapan bela sungkawa, seperti biarkan dia tenang, rela kan dia, dan semuanya akan baik-baik saja. Jiyeon sekarang paham, ucapan seperti itu tak memberikan dampak besar. Semua harapan itu kosong. Dia tahu, meski sudah diperintah untuk merelakan, pihak yang ditinggalkan tak akan bisa dengan mudah melewatinya. Ayahnya tersenyum lemah padanya, dan dia membalasnya dengan sebaik mungkin. Dan perasaan seperti ini, dulu –lama sekali- dia berpikir akan segera hilang ketika ada yang menghibur, dugaannya salah besar. Rasa kehilangan seperti ini membuat pemikirannya terbuka, bahwa semua angan-angannya tentang kebahagian abadi tak pernah ada. Dia saja yang terlalu naïf. Kenyataannya, kebahagian abadi itu akan selalu didampingi oleh kehilangan abadi. Dimana jika rasa bahagia itu pergi, maka kekosongan lah yang akan menetap di hati. Dia tersenyum miris.

Ayahnya melangkah mendekatinya, berjongkok dan menggenggam tangan mungilnya dengan hati-hati. Air matanya jatuh lagi melihat mata ayahnya yang kelam penuh luka yang basah. Jemarinya bergerak menghapus air mata di wajah ayahnya dengan bergetar.

“Maaf, Jiyeon-ah. Kau sudah kehilangan banyak hal.”

Jiyeon tidak mendengar penuturan ayahnya. Dia memeluk ayahnya dengan erat, menangis di dalam pelukan posesif ayahnya tanpa suara.

Sekarang saatnya, dimana dia harus mengucapkan selamat tinggal kepada malaikatnya, ibunya, dan juga kekasih hati ayahnya. Tapi tak semudah membalikkan telapak tangan. Kata selamat tinggal terasa sangat berat untuk dikeluarkannya, atau mungkin karena dia tidak siap. Tetapi tak akan pernah ada seseorang yang siap untuk mengatakan dua kata itu, semuanya mengatakan kata itu dengan hati yang hancur. Dan Jiyeon pun akan merasakan hal itu.

“Katakan sayang, jangan biarkan Eomma-mu tersiksa.”

Tangisnya menjadi, jantungnya mulai terasa diremukkan secara perlahan, lalu akhirnya ia memulainya. Mulutnya terbuka, lalu tertutup, begitu selama beberapa kali. Dan akhirnya kata mengerikan itu berhasil lolos dari mulutnya bersamaan dengan kekosongan yang datang menyapa hatinya.

“Selamat tinggal, Eomma.”

***

Ket :

  • Myungsoo > 1990
  • Jiyoen > 1996
  • Perhitungan umur sesuai umur internasional
  • Umur Myungsoo yang di prolog 24 sudah aku ganti jadi 25
  • Judul sebelumnya ‘Her Beautiful Voice’ judi ‘Sounds’

 

Maafkan saya yg sekali lagi ingkar janji, malah post ini dulu sebelum forever you, tapi apa mau dikata ff ini yang lebih dulu selesai jadi aku post duluan >< maaf ya.

Dan ini udah nyuri waktu buat nulis di sela waktu ujian jadi kalau typo langsung kasih tau soalnya aku gak edit ini ff :3

Flawless (A’Moore)

35 thoughts on “[Chapter-1] SOUNDS”

  1. hwaaaa kren bgt crtanya
    myungyeon sma2 khlangan org yg mreka cntai d hri yg sama
    ngg sbar nggu myubgyeon momennya

  2. pengen tau deh gmana nantinya mereka menyembuhkan luka di hati masing – masing atau malah saling menyembuhkan ?
    #MyungyeonReal ❤

  3. gara2 kecelakaan itu jiyeon jd kurang bisa mendengar ya??
    jangan bilang klo ternyata yg nabrak jiyeon sekeluarga itu naeun
    btw si naeun kenapa pergi ninggalin myungsoo?
    miris bgt ya klo jd jiyeon di hari ulang tahunnya ada kebahagiaan tp cuma sebentar lalu di ganti dengan kesedihan

Leave a comment